Tjakrabirawa, Yang Terbaik Lalu Terbalik

Tjakrabirawa

Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun kemudian.

Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam. Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan

pengawal presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno. Namun, kali ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di semua negara.

Angkatan Darat memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders. Batalion ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun,sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini.

Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap. Setahun kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih. Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi.

Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. “Tugas kalian sudah selesai,” kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya.

Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer. Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan lamanya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata disisihkan. “Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan,” ujar Maulwi. “Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di posisi salah.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *